Selasa, 17 Agustus 2010

Zefastly


“Pluralisme “

Di negeri para pluralis,  suatu saat nanti, mungkin menjelang ajal seorang kiai boleh dibaptis, dan setelah dimakamkan seorang pendeta boleh ditalqin
Oleh: Hamid Fahmy Zarkasyi* 

" Our goal is a Christian nation. We have a Biblical duty, we are called by God, to conquer this country. We don't want equal time. We don't want pluralism."  Randall Terry, Founder of Operation Rescue.

ITULAH sekelumit cetusan hati seorang penganut Kristen. Randall mungkin terlalu keras dan dicap intoleran. Tapi apa salahnya orang berdakwah jika itu perintah. Mestinya, dalam masyarakat yang plural, pernyataan Randall adalah jamak.

Mestinya Randal pernah baca tulisan Akbar S Ahmed tahun 90-an “Postmodernisme dipicu oleh semangat pluralism”. Tapi kini Randal merasa pluralisme bagai orde zaman postmo. Sebab ia memiliki rencana, bala tentara dan dana. Dipromosikan pada area sacred yakni agama, dan  profane yakni masyarakat luas. Ini merupakan kelanjutan proyek Barat modern yakni sekularisasi. Pengembangan paham pluralism pada masyarakat modern,  Peter Berger (1967) membantu proses sekularisasi. Padahal pada kesempatan lain dia pernah menyatakan sekularisasi umat Islam telah gagal, kini sebagai gantinya adalah pluralism.

Tidak hanya merupakan program ganda, pluralisme pun merupakan kata bersayap. Terkadang bermakna toleransi dan di saat lain berarti relativisme. Dalam “Religious 'Pluralism' or Tolerance?" Robert E. Regier & Timothy J. Dailey, juga tegas bahwa banyak orang hari ini yang dibingungkan oleh istilah toleransi keagamaan tradisional Barat dengan pluralisme agama. Yang kedua berasumsi semua agama adalah sama-sama valid. Ini menurutnya menghasilkan relativisme moral dan ketidakberaturan etika (ethical chaos). Tokoh Katholik yang lain Rick Rood menulis “Pluralisme agama adalah pandangan bahwa semua agama adalah sama-sama benarnya sebagai jalan menuju Tuhan… Perbedaan antara agama hanyalah permukaan; semua menuju pada tujuan yang sama. Inilah sayap pluralism, yang kiri toleransi dan yang kanan adalah relativisme.

Pandangan relativis juga ada dalam pikiran Diana L Eck, pimpinan proyek pluralisme Amerika.  Agama-agama dan pandangan hidup sekuler adalah sama benar dan validnya. Benar jika dilihat dari dalam kulturnya sendiri. Maka dalam strategi Diana L. Eck., dalam "The challenge of pluralism," pluralitas digandengkan dengan pluralism. Sebab pluralitas saja tidak cukup, seorang pluralis harus terlibat  intens. Artinya mengakui pluralitas agama tidak cukup, mestinya mengakui realitas kebenaran agama-agama. Itulah target program pluralisme.

Pengertian Diana didukung Ronald Thiemann. Dalam buku Toward a Confucian Pluralism: Globalization in Dialogue  ia jelaskan bahwa pluralism itu adalah keyakinan bahwa kebenaran keyakinan kita tidak terbukti dengan sendirinya (self evident). Ini bukan berarti tidak punya bukti, tapi bukti kita tidak bisa meyakinkan orang yang tidak setuju. Seorang pluralis juga harus yakin bahwa orang yang tidak setuju dengan kita juga rasional. Artinya seorang pluralis harus mengakui rasionalitas atau validitas agama lain

Tidak ada komentar:

Posting Komentar