kiriman

ambang strategi dalam system
motivasi lebih detail
evaluasi
instalasi
jamaah
bahan
materi
install pembenahan managemen
input yng akan datang di masa depan
berlanjut sampai dengan succesfull
standarisasi personal yang kita rencanakan
umpan matang dalam tiap2 langkah
“Allah Tak Pernah Ingkar Janji”

Senin, 14 Februari 2011

TERKEJUT Hamdi mendengar tempat tugas dakwah yang cukup jauh dari tempat asalnya, Bengkulu. Belum pernah terpikir dalam hidupnya kota itu. Belum juga sirna, tiba-tiba, ia kembali dikagetkan, dengan informasi bahwa ia tidak akan dibekali sepeser uang saku pun untuk menuju ke sana.
Dan yang cukup membuat dag-dig-dug, ia harus sudah sampai ke tempat tugas paling lambat empat hari ke depan.
Terang saja mendengar demikian, pemuda asal Lampung itu sempat linglung, setengah tidak percaya dengan apa yang didengar. Permasalahannya, bukan terletak pada jauhnya tempat tugas, atau besarnya biaya yang harus ia keluarkan untuk biaya transportasi. Namun pada saat itu, laki-laki berkulit cerah dan berkumis timis ini, memang benar-benar tidak memiliki uang sepeser pun. Sekiranya ada uang, tentu ceritanya tidak akan demikian.
Mengandalkan orangtua, sangat tidak mungkin. Mereka saja dalam kesusahan, bekerja sebagai buruh hutan. Karenanya, dia sempat protes sama sang-pimpinan, “Ustadz, bagaimana saya bisa ke Bengkulu dalam waktu 3-4 hari ke depan tanpa dibekali uang sedikitpun. Saya tidak punya uang sama sekali saat ini, ustadz” keluhnya saat itu.

“Pokoknya, yang penting, kamu sudah sampai di sana, tepat pada waktunya, tidak boleh terlambat”, ujar Hamdi, menirukan jawaban sang-ustadz.

Mendapat tanggapan demikian, Hamdi pun tidak berkutik. Di tempat kediamannya, dia mulai memutar otak, bagaimana mendapatkan uang untuk biaya keberangkatannya. Tak lama berselang, secercah peluang pun hinggap di benaknya. Dia teringat pamannya yang termasuk orang berada. Mobil pribadinya saja ada enam. “Pasti paman bisa membantu,” ucapnya membatin penuh keoptimisan.

Ketika ia penuh harap, ternyata pamannya tidak memberi sepeser uang pun untuknya. Sempat ingin mengadu ke bibi (istri pamannya) prihal permasalahannya, tapi dia urungkan niatnya, karena merasa malu.

Pertolongan Allah
Di tengah kegalauannya itu, Hamdi mencoba menerka-nerka, apa kira-kira hikmah di balik keputusan pimpinannya, yang mengutus tugas dakwah, nun jauh di sana, tanpa dibekali sepeser uang pun?.

Saat itu lah terlintas di benaknya firman Allah yang menerangkan, bahwa siapa saja yang bersusah payah menolong agama Allah, maka Allah pun akan menolongnya, “In tanshurullah yan syurkum" (Apa bila engkau membantu agama Allah, maka Allah pun akan membantu engkau).” Hamdi mengingat salah satu firman Allah dalam al-Quran itu dengan perasan yakin.

Sedari itu, memuncaklah kembali rasa optimisnya, bahwa Allah tidak mungkin melantarkan dirinya yang berusaha memperjuangkan agama-Nya. Ia yakin, Allah tidak akan tidur, sebagaimana sejarah yang pernah terjadi pada Siti Hajar, istri Nabiullah Ibrahim.

“Sebagaimana Dia (Allah) telah menyelamatkan Hajar dan Ismail di tengah-tengah padang sahara, dengan memuncratkan air Zam-Zam dari bawah kaki Ismail”, terangnya.
Entah kenapa, setelah mengingat dan menghayati kandungan ayat tersebut, hati dan pikiran Hamdi terasa plong. Sepertinya, Allah telah membentangkan sederet jalan keluar, yang begitu jelas dihadapannya. Padahal, realitasnya, belum ada sama sekali ide cemerlang untuk mengetaskan permasalahannya tersebut.
Hari Jum’at, adalah batas akhir Hamdi mempersiapkan diri. Dia harus berangkat keesokkan harinya, karena hari Senin, ia harus menapakkan kaki di tempat tugas. Kira-kirajarak tempuh darat antara kota Lampung-Bengkulu, ± memakan waktu satu hari-satu malam.

Na’asnya, tepat pada hari yang telah ditentukan itu (Sabtu pagi), Hamdi belum juga mendapatkan uang serupiah pun. Meski demikian, ia sudah mempersiapkan keberangkatannya. Baju-baju, buku-buku, segala sesuatu yang dirasa dibutuhkan, semuanya sudah dikemas. Dia sendiri sudah berpakaian rapi, layaknya seorang perantau, yang siap melakukan perjalanan jauh.
Allah Maha Melihat Hamba-Hamba-Nya yang memang tulus berjuang di jalan-Nya. Dan sesungguhnya Allah tidak pernah mengingkari janji-janji-Nya. Dia tunjukkan kekuasaan-Nya pada pemuda yang saat ini tengah kuliah di salah satu Perguruan Tinggi Islam, Surabaya ini.
Ceritanya, sebelum berangkat, Hamdi menyempatkan diri berpamitan ke pada sanak saudara, dan tetangga-tetangga dekatnya. Untung tidak bisa diraih, malang tak dapat ditolak. Banyak dari mereka yang memberinya uang saku. Padahal, sedikitpun Hamdi tidak pernah mengungkapkan atau bercerita permasalahan finansialnya pada mereka.

“Mereka bilang sih, uang sekedar untuk beli es dan jajan di jalan, ” terangnya.

Yang mencengangkan, setelah dihitung totalitasnya, jumlah nominal yang diperoleh, cukup membuat mata Hamdi meloto. Kira-kira mencapai ± Rp. 500.000. Dahinya mengkerut, seolah tidak percaya dengan apa yang sedang ia saksikan.
“Mata saya sempat lembab, dan bibir tak henti-henti mengucapkan kalimat takbir, tahmid, dan tahlil, menyaksikan Kemahabesaran Allah ini,” ujarnya.
“Ini satu bukti, bahwa Allah tidak pernah mengingkari janji-janji-Nya, yang telah termaktub dalam al-Quran,” tambahnya dengan mata berkaca-kaca.

Dengan uang itulah, kemudian Hamdi mampu menjalankan amanah pimpinannya, tepat pada waktunya.
Bercita-Cita Menjadi Da’i

Hamdi adalah salah satu peserta yang mengikuti Kuliah Da’I Mandiri (KDM), yang dimobilisasi oleh Hidayatullah, di Palembang. Seusai mengikuti program tersebut, ia ditugaskan untuk berdakwah di Bengkulu. Ia sendiri berasal dari Lampung. Ia mengikuti pelatihan itu, atas rekomendasi dari salah satu ustadznya di Lampung.

Sejatinya, sudah lama ia merindukan untuk terjun langsung di dunia dakwah. Namun, niatnya tersebut sempat tersendat lantaran ada beberapa hal yang menghalanginya, untuk melaksanakan tugas para anbia’ ini, hingga tibalah tawaran menghampirinya guna ikutserta dalam program KDM.
Untuk menambah wawasan keislamannya, kini ia tengah serius menuntut ilmu di salah satu Perguruan Tinggi Islam, yang ada di Surabaya.

“Latar belakang saya sebagai siswa sekolah umum, yang jarang mendapat pengetahuan tentang keislamanlah, yang mengarahkanku untuk serius, menekuni ajaran Islam saat ini,” terangnya.

“Mudah-mudahan, kelak akan bermanfaat bagi diriku sendiri, keluarga, dan kaum muslimin pada umumnya,” harapnya. */Robinsah. Kisah ini diceritakan langsung oleh yang bersangkutan/hidayatullah.com

Hidayatullah.com--Hujjatul Islam, Imam al-Ghazali pernah mengingatkan, orang yang tertipu di akhirat kelak adalah orang yang jika berbuat baik, dia berkata, “Akan diterima amal kebaikanku”. Jika berbuat maksiat, dia berkata:”Akan diampuni dosaku.” (Ihya Ulmuddin).

Saat beribadah, kerap kita didatangi perasaan, “Telah banyak ibadah yang saya kerjakan”, atau pertanyaan, “Berapa rupiah uang yang sudah saya sedekahkan”. Bahkan sering juga hati bergumam, “Kiranya semua dosa-dosaku pasti telah diampuni, karena aku shalat sunnah sekian kali setiap hati”.
Perasaan, angan-angan dan pertanyaan seperti tersebut di atas bisa merusak amal perbuatan. Bahkan bisa berakibat meremehkan (tahawun) perbuatan dosa.

Sehingga, ibadahnya bisa menjadi sia-sia. Sebab, semangat ibadahnya bukan lagi karena takwa kepada Allah SWT, tapi ingin jadi kaya atau ingin disebut ahli ibadah.
Sebagaimana hadis Rasulullah SAW di atas, orang seperti tersebut di atas disebut rakus. Beribadah banyak tanpa disertai pengetahuan ancaman-ancaman Allah SWT dalam al-Qur’an. Ancaman-Nya dianggap lalu saja.
Rasulullah SAW member gambaran: “Sesungguhnya orang mukmin itu memandang dosa-dosanya seperti orang yang berdiri di bawah gunung, yang mana dia (sentiasa) rasa takut yang gunung itu nanti akan menghempapnya,dan orang yang keji pula memandang dosa-dosa mereka seperti seekor lalat yang hinggap di atas hidungnya, yang berkata : dengan hanya begini sahaja (iaitu dengan hanya ditepis dengan tangan sahaja) maka dengan mudah sahaja lalat itu terbang. “ (HR. Bukhari Muslim)

Imam al-Ghazali mengingatkan, meremehkan dosa dan over confident terhadap amal perbuatannya adalah sangat berbahaya. Sebab katanya, orang yang sibuk menghitung-hitung pahala biasanya lupa terhadap banyaknya dosa.

Orang seperti ini akan mendapatkan kekecewaan di akhirat. Ketika di dunia ia lupa mengkalkulasi berapa banyak dosa yang telah dilakukan, sehingga dosa-dosanya lupa dimintakan ampun kepada Allah SWT. Ia hanya sibuk mengkalkulasi jumlah shalat, zakat, puasa dan sedekah yang dilakukan.
Ia tidak mengetahui seberapa besar kalkulasi pahalanya jika dibanding dosanya. Maka, saat di akhirat ia menyangka membawa pahala, padahal pahalanya berguguran sementara dosanya menumpuk. Inilah fenomena yang disinyalir akan banyak terjadi pada akhir zaman.

Maka dalam beribadah kita mesti memiliki pengetahuan seimbang antara kabar baik dan ancaman Allah SWT. Ancaman-ancaman Allah yang tersebut dalam al-Qur’an harus menjadi perhatian kita, agar tidak terjebak di dalamnya. Sementara orang yang hanya berfokus pada jumlah pahala (kabar baik) disebut sebagai jahil. Tidak mengetahui bahwa setiap harinya diawasi oleh Malaikat Raqib dan ‘Atid yang mencatat kebaikan dan keburukan.
Kita pun terkadang terlalu ‘asyik’ melafalkan huruf demi huruf al-Qur’an, tapi lupa isi dan pelajaran di baliknya. ‘Keasyikan’ itu menimbulkan kebanggaan hati, bahwa ia telah melakukan amal baik – yaitu membaca al-Qur’an sebanyak-banyaknya.
Pernahkan terbesit di dalam hati kita kata-kata ini: “Alhamdulillah, sudah sekian kali al-Qur’an telah aku khatamkan. Pasti aku masuk surga”. Ini kata-kata yang menipu. Memastikan diri ini cukup berbahaya. Bisa menimbulkan ‘ujub, bahkan melalaikan dosa.

Fenomena ini pernah terjadi pada masa umat nabi Musa a.s, seperti tertulis dalam al-Qur’an: “...Maka datanglah sesudah mereka, yaitu generasi yang mewarisi Taurat, yang menghambil harta benda dunia yang rendah ini, seraya berkata: ‘Kami akan diberi ampunan oleh Allah.’” (QS. Al-A’raf: 169). Generasi tersebut, berbuat dosa akan tetapi merasa mereka diampuni oleh Allah.

Imam al-Ghazali menjelaskan : “Jika kita terlena menghitung pahala tetapi dosa-dosa dilupakan. Maka kita menjadi orang tertipu terhadap amal kita sendiri. Pada hari penghitungan amal, kita akan terkejut. Sebab ternyata timbangan amal lebih berat daripada pahala yang kita sangka-sangka telah menumpuk.”
Maka, jangan kita tertipu oleh perasaan diri kita sendiri. Yang perlu kita lakukan, bukan asyik mengkalkulasi pundi-pundi pahala. Setelah beramal, biarlah kita serahkan kepada-Nya. Allah SWT Maha Bijaksana, Dia yang mengatur pahala kita secara adil. Jangan pula buru-buru mengatakan “Saya telah ikhlas!”. Biasanya orang yang terang-terangan berkata demikian justru sebaliknya, tidak ikhlas, sebab membawa perasaan ‘ujub di hatinya.

Agar tidak terjebak, kita harus mengkalkulasi dosa yang telah kita perbuat. Sempatkanlah satu waktu dalam sehari untuk menghitung, berapa kali dosa yang telah kita perbuat sehari ini. Jika tidak ada kalkulasi dosa, kita akan terus merasa tidak pernah berbuat dosa.
Allah SWT berfirman: “Tidak ada satu kata pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat Raqib dan ‘Atid.” (QS. Qaaf: 18). Perasaan selalu diawas ini akan menjadikan kita orang yang selalu berhati-hati dalam beribadah. Tidak asal ibadah, tapi tahu ilmu tentang ibadah.

Kita boleh saja memikirkan pahala-pahala dari ibadah, akan tetapi hal itu jangan sampai membuat kita terlena dengan keutamaan-keutamaannya (fadlilah). Keutamaan ini menjadi penyemangat kita bukan memperlemah. Mengetahui keutamaan ibadah sekaligus memahami akibat dari melakukan dosa. Inilah keseimbangan yang perlu dijaga dalam beribadah.